Rabu, 09 Desember 2015

PERHITUNGAN THR (TUNJANGAN HARI RAYA)

Tunjangan Hari Raya (THR) diberikan oleh perusahaan kepada pekerja/karyawan/buruh pada saat akan menjelang hari raya masing-masing agama. Di Indonesia tentunya kita mengenal  6 (enam) agama yaitu : Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Islam dan Kong Hu Cu.
Sebentar lagi Hari Natal akan segera tiba, untuk para pekerja yang beragama kristen, katolik akan merayakan hari Natal. pastinya para pekerja/karyawan/ buruh mendapatkan Tunjangan Hari Raya atau sering di singkat THR dari perusahaan tempat anda bekerja. Wow..... ini lah saat saat yang di tungguh oleh para pekerja.


Ada beberapa pertanyaan mungkin yang menjadi pertanyaan anda:
1.Apakah ada regulasi yang mengatur tentang Tunjangan Hari Raya?
2.Karyawan/pekerja/buruh dalam masa bekerja, berapa lamakah baru mendapatkan Tunjangan Hari raya ?
3.Bagaimana cara menghitung tunjangan hari raya?
4.Kapan Pengusaha Selambat-lambatnya harus membayar THR kepada Pekerja/Karyawan/buruh ?
5.Jika Pekerja/karyawan/buruh Putus Hubungan kerja (mengundurkan diri) sebelum hari raya apakah mendapatkan THR? 

 



Baiklah kita akan coba membahas tentang Tunjangan Hari Raya (THR).

1. Apakah ada regulasi yang mengatur tentang Tunjangan Hari Raya?
Regulasi yang mengatur hal ini Adalah  PERATURAN MENTERI TENGA KERJA R.I NO.PER-04/MEN/1994 TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA DIPERUSAHAAN 

2. Karyawan /pekerja/buruh dalam masa bekerja, berapa lamakah baru mendapatkan Tunjangan Hari raya ?
Pasal 2 Permenaker 4/1994:
1. Pengusaha wajib memberikan T H R kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.
2. T H R sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan satu kali dalam satu tahun. 
  
3. Bagaimana cara menghitung tunjangan hari raya?
 Pasal 3 Permenaker 4/1994:
(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
(2) Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.

4. Kapan Pengusaha Selambat-lambatnya harus membayar THR kepada Pekerja/karyawan/buruh?

Pasal 4 Permenaker 4/1994 :
1. Pemberian THR sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan, masing-masing pekerja kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.
2. Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. 

5. Jika Pekerja/karyawan/buruh Putus Hubungan kerja (mengundurkan diri) sebelum hari raya apakah mendapatkan THR?

Pasal 6  Permenaker 4/1994 :
1.Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan berhak atas THR.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari RayaKeagamaan.
3. Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru, apabila dari perusahaan yang lama, pekerja yang bersangkutan belum mendapatkan THR.

Semoga dengan tulisan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan untuk teman-teman tentang Tunjangan Hari Raya (THR), salam damai sejahtera buat kita semua.



Best regards
Febriyantoliu




Senin, 23 November 2015

KEGUNAAN METERAI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

Tentunya anda pernah melihat Meterai, bahkan saya yakin anda pernah membeli dan  menggunakan meterai. Pasti anda sering mendengar di lingkungan anda baik itu dari teman, sesama karyawan, saudara atau boss anda yang mengatakan jika membuat surat perjanjian atau surat pernyataan harus ditempelkan  Meterai  sehingga menjadi sah. Apakah hal tersebut benar?

Seharusnya mereka mencari tahu terlebih dahulu aturan yang mengatur tentang bea meterai apakah sebenarnya Kegunaan meterai?
Mari kita mencari tahu aturan nya:

Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.


 
Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 1985
TENTANG
BEA METERAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,

Menimbang : a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional;


b. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia;


c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;


d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas, perlu dikeluarkan undang-undang baru mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921);
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);




Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :


Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).




Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1


(1) Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini.


(2) Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;
b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia;
c. Tandatangan adalah tandatangan sebagimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula parap, teraan atau cap tandatangan atau cap parap, teraan cap nama atau
tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d. Pemeteraian-kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi sebagaimana mestinya;
e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian-kemudian.
BAB II
OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI
Pasal 2


(1) Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap - rangkapnya;
d.
surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) :
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).


(2) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).


(3)
Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan :
a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;


(4) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 500,- (lima ratus rupiah), dan apabila harga nominalnya
tidak lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.


          Pasal 3
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagimana dimaksud dalam Pasal 2.


          Pasal 4
Tidak dikenakan Bea Meterai atas :
a. dokumen yang berupa :
1) surat penyimpanan barang;
2) konosemen;
3) surat angkutan penumpang dan barang;
4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. segala bentuk Ijazah;
c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


          Pasal 5
Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :


a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;


b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;


c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.


          Pasal 6
Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.


          BAB III
    BENDA, METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA
          Pasal 7


(1) Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


(2)
Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
a. menggunakan benda meterai;
b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.


(4) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tandatangan akan dibubuhkan.


(5) Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tandatangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.


(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tandatangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.


(7) Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.


(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.


(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
                                Pasal 8


(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200%
(dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.


(2) Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilunasi Bea meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.


          Pasal 9
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.


          Pasal 10
Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


          BAB IV
        KETENTUAN KHUSUS
          Pasal 11


(1)
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
b. melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.


(2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


          Pasal 12
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.


          BAB V
        KETENTUAN PIDANA
          Pasal 13


Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan memalsukan tandatangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;
c. barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tandatangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak;
d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas - perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.


          Pasal 14


(1) Barangsiapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.


(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.


          BAB VI
        KETENTUAN PERALIHAN
          Pasal 15


(1) Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterai-nya yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terhutang berdasarkan
Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).


(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur Menteri Keuangan.


          Pasal 16
Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.


          BAB VII
        KETENTUAN PENUTUP
          Pasal 17
Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


          Pasal 18
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.














Kesimpulan nya:


Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, fungsi atau hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen tertentu. Surat pernyataan atau perjanjian yang tidak dibubuhkan meterai tidak membuat pernyataan atau perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Akan tetapi, jika Anda memang bermaksud untuk menjadikan surat pernyataan atau perjanjian tersebut sebagai alat bukti di pengadilan, maka harus dilunasi Bea Meterai yang terutang.
Sekarang sudah jelaskan, bahwa meterai tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian, karena fungsi esensi dari meterai adalah sebagai pajak / penghimpun dana dari masyarakat.


Surat Pernyataaan atau Perjanjian tersebut dikatakan SAH harus berdasarkan:
Syarat Sah nya suatu perjanjian terdapat dalam  Pasal 1320 Bugerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu adanya kesepakatan para pihak, Cakap, hal tertentu dan adanya causa yang halal. Jika teman-teman ingin  mengetahui lebih dalam syarat sah suatu perjanjian dapat dibaca pada (Febriyantoliu.blogsport.co.id) http://febriyantoliu.blogspot.com/2015/11/syarat-sah-suatu-perjanjian-dalam.html 


Dokumen harus memakai meterai:
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk :
a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d. surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
  1. yang menyebutkan penerimaan uang;
  2. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
  3. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
  4. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu :
  1. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
  2. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.”

PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai :

Pasal 1

Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk:
a.    surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.        akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c.      akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya;
d.        surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e.         surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f.          dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

Pasal 2
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e :
a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Pasal 3
Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
Pasal 4
(1) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
(2) Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).”

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 476/KMK.03/2002 TENTANGPELUNASAN BEA METERAI DENGAN CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA:

Pasal 1
Pemeteraian kemudian dilakukan atas:

  1. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
  2. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
  3. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.

Pasal 2

(1)
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dengan menggunakan:
  1. Meterai Tempel; atau
  2. Surat Setoran Pajak.
(2) Pemeteraian kemudian dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak harus disahkan oleh Pejabat Pos.
(3)
Lembar kesatu dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang digunakan untuk pemeteraian kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus di lampiri dengan daftar dokumen yang dimateraikan kemudian dan daftar dokumen tsb. merupakan lampiran dari lembar kesatu dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang tak terpisahkan.
(4)
Pengesahan atas pemeteraian kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan setelah pemegang dokumen membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 3

Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian adalah :

  1. Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan;
  2. Atas dokumen yang tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya adalah sebesar Bea Meterai yang terutang;
  3. Atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemateraian kemudian dilakukan. 
Pasal 4

(1)
Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi.
(2)
Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c baru dilakukan setelah dokumen digunakan, pemegang dokumen wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang.
(3)
Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 5

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Kesimpulan:
Menurut Pasal 1 huruf a Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian (“Kepmenkeu 476/2002”), pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia (Pasal 1 huruf c Kepmenkeu 476/2002).
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan kemudian disahkan oleh Pejabat Pos (Pasal 2 ayat [1] dan [2] Kepmenkeu 476/2002). Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan (Pasal 3 huruf a Kepmenkeu 476/2002).

kekuatan pembuktian surat pernyataan atau Perjanjian  yang tidak dibubuhi Meterai jika akan dijadikan alat bukti di pengadilan, memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan surat pernyataan atau perjanjian yang telah bermeterai. Namun, untuk dapat dijadikan alat bukti, harus memenuhi syarat administratif yaitu melunasi Bea Meterai yang terutang  dan wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi.

Sekian dan terimakasih demikianlah yang dapat saya jelaskan semoga bermanfaat untuk Teman-Teman.


Salam Hangat
Febriyanto liu

Rabu, 18 November 2015

PERJANJIAN KERJA PKWT DAN PKWTT

Bekerja dan bekerja itulah yang ada di benak Pekerja/Karyawan/Buruh, tahukah anda jika suatu perusahaan ingin menjadikan anda pekerja/karyawan/buruh pastilah akan menggunakan perjanjian kerja untuk mengikat anda agar memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak,  sebelum membahas jenis perjanjian kerja di Indonesia alangkah lebih baik kita mengetahui arti perjanjian kerja.


Apakah Pengertian Perjanjian Kerja?

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.

Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.

Selanjutnya perihal Pengertian perjanjian kerja ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh). (Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 63.)  


Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan:
Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).

A.        Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. 
Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Ketentuan yang tidak membolehkan adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004. Pengertian tersebut sependapat dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntak bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan jankga waktu (perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2 tahun, maka dapat diperpanjang 1/2 tahun.
Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat (2) UUK).
Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :
  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. Pekerjaan yang bersifat musiman; dan
  4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.



 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, apabila:
  1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
  2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
  3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
  4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
  5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan bagi PKWTT. 
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.



Perbedaan paling terlihat :
  1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) tidak boleh mensyaratkan masa Percobaan kerja sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.
  2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT) boleh mensyaratkan masa Percobaan kerja Paling lama 3(tiga) bulan, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.
Semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat. terimakasih....



Best Regards
Febriyanto Liu